Program Pemberdayaan Ekonomi dan Perlindungan SGBV di NTT: GMIT Gandeng Mission 21 Swiss

Kolaborasi Gereja dan Internasional Atasi Kekerasan Gender dan Perdagangan Orang di NTT, Minggu (21/9).


INDONESIA PEMBAHARUAN, KOTA KUPANG - Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan lembaga asal Swiss, Mission 21, memperkuat kerja sama strategis dalam periode 2025–2028 dengan membentuk program kolaboratif yang menyasar tiga pilar utama: perlindungan terhadap kekerasan seksual dan perdagangan orang (SGBV), pemberdayaan ekonomi kelompok rentan, serta pengurangan risiko bencana berbasis jemaat (PRB).


Program kolaboratif ini merupakan kelanjutan dari kerja sama yang telah terjalin sejak tahun 2019, dan diperluas secara signifikan pada tahun 2025. Untuk mendukung pelaksanaan program di periode baru, dibentuk Tim Kolaborasi GMIT-Mission 21 yang diketuai oleh Pdt. Agustina Hauteas Amtaran, S.Th dari Badan Penanggulangan Risiko Bencana (BPRB) GMIT, didampingi Wakil Ketua Pdt. Yunus Kay Tulang, M.Th dari Badan Pengelola Aset dan Pemberdayaan Ekonomi (BPA-PE), serta Ester Mantaon, S.H dari Rumah Harapan.


Dalam rapat koordinasi bersama Majelis Sinode Harian GMIT, Tim Kolaborasi telah menyusun rencana kerja dan anggaran untuk tahun 2025, termasuk melakukan pemetaan wilayah intervensi dan identifikasi kebutuhan jemaat.







Dua Klasis Jadi Fokus Utama

Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan pada tanggal  1  hingga 2 September 2025, dan dilanjutkan dengan loka karya pada 15 September 2025, wilayah Klasis Kupang Tengah dan Amarasi Timur diidentifikasi sebagai daerah prioritas intervensi. Kedua wilayah tersebut memiliki tingkat kasus kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, dan perdagangan orang yang cukup tinggi.


Adapun jemaat-jemaat yang terlibat dalam loka karya tersebut meliputi lima jemaat dari masing-masing klasis. Untuk Klasis Amarasi Timur di antaranya Jemaat Galed Oesena, Haubisnoni, Hananial Boitimu Puskou, Pniel Koka, dan Maranatha Noehaen. Sementara dari Klasis Kupang Tengah terdapat Jemaat Siloam Oebelo Kecil, Imanuel Kampung Baru Puluthie, Imanuel Oepunu, Imanuel Bokong, dan Pengharapan Dendeng.


Pelatihan dan Intervensi Ekonomi

Program ini tidak hanya berfokus pada penanganan dan pencegahan SGBV, tetapi juga pada penguatan ekonomi jemaat. Menurut anggota BPA-PE GMIT sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana, Dr. Dra. Diani T.A. Ledo, SE, M.Si, penting bagi gereja untuk menggali potensi ekonomi jemaat dan melakukan intervensi produktif sebagai upaya pencegahan kekerasan.


Untuk itu, pelatihan pertanian holtikultura dan pelatihan pembuatan tenun ikat akan digelar pada Oktober dan November 2025. Program ini dirancang agar kelompok rentan memiliki kemampuan usaha yang berkelanjutan dan dapat menjual produk mereka melalui jaringan distribusi seperti GG Mart Sinode GMIT dan NTT Mart milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.


Sistem Terintegrasi dan Kolaborasi Multipihak

Program ini juga mendorong pembangunan sistem terintegrasi yang menyatukan pendekatan perlindungan dari SGBV, pengurangan risiko bencana, dan pemberdayaan ekonomi jemaat. Upaya ini dilakukan dengan menggali kapasitas dan aspirasi kelompok rentan, serta memetakan sumber daya dan kolaborasi antara gereja, masyarakat sipil, pemerintah, dan sektor swasta.


“Langkah ini menjadi penting agar gereja tidak hanya menjadi ruang ibadah, tetapi juga menjadi pusat transformasi sosial dan ekonomi bagi komunitasnya,” ujar Pdt. Yunus Kay Tulang dalam wawancara usai loka karya.


Pemerintah Kabupaten Kupang, melalui Bupati Yosef Lede, SH yang juga tergabung sebagai BPA - PE  , menyatakan dukungannya terhadap program kerja sama internasional ini. Ia berharap upaya ini dapat memperkuat ketahanan masyarakat dari berbagai sisi — ekonomi, sosial, dan spiritual.


Harapan ke Depan

Dengan hanya tersisa empat bulan hingga akhir tahun 2025, Tim Kolaborasi GMIT-Mission 21 bergerak cepat untuk mengeksekusi program pelatihan dan memulai implementasi rekomendasi yang dihasilkan dari asesmen dan loka karya.


Harapannya, intervensi ini mampu menciptakan dampak nyata bagi jemaat dan komunitas yang selama ini terdampak oleh kemiskinan, kekerasan, dan keterbatasan akses terhadap sumber daya pembangunan.

(Novie)